Minggu, 06 Mei 2012

Asal Mula Kanjeng Kyai Plered

Dahulu kala, ada seorang tumenggung bernama Wilatikta. Sang tumenggung mempunyai dua orang anak bernama Raden Sahid dan Rasa Wulan. Ketika kedua orang anaknya itu telah menginjak dewasa, Tumenggung Wilatikta memanggil mereka berdua. Kepada anak laki-lakinya, Tumenggung Wilatikta berkata, “Sahid, kau sekarang sudah dewasa, nak. Ayahmu telah tua. Kaulah yang harus menggantikan kedudukan ayahmu menjadi tumenggung, bila ayah sudah tidak mampu melaksanakannya.”
Raden Sahid mendengarkan kata-kata ayahnya dengan cermat. Dia duduk bersila di hadapan ayahnya. Kepalanya menunduk menandakan hormat kepada ayahnya.
“Untuk itu, aku dan ibumu mengharapkan agar engkau segera beristeri, Sahid. Kawinlah sebelum engkau menggantikan kedudukanku menjadi tumenggung. Katakanlah, gadis mana yang cocok dengan pilihanmu. Nanti akulah yang akan melamarkan untukmu.”
Mendengar kata-kata ayahnya itu, merenunglah Raden Sahid. Sebenarnya dia belum memiliki rencana untuk beristeri. Di dalam hati dia menolak suruhan ayahnya untuk beristeri, tetapi akan menolaknya secara terus terang, dia tidak memiliki keberanian, khawatir akan membuat sedih hati ayah dan ibunya. Beberapa saat lamanya Raden Sahid diam saja, dalam kebimbangan.
“Mengapa engkau diam saja, Sahid?” kata Tumenggung Wilatikta. “Apakah kau menolah suruhanku?”
“Ampun ayahanda,” kata Raden Sahid dengan hormatnya. “Sama sekali saya tidak bermaksud menolak perintah ayahanda.”
“Tetapi, mengapa engkau diam saja?” kata Tumenggung Wiltaikta. “Mengapa engkau tidak segera menjawab?”
“Ampun, ayahanda,” kata Raden Sahid. “Soal isteri, hamba tak dapat melaksanakannya dengan segera.” “Jadi engkau menolak perintah ayahmu!” Tumenggung Wilatikta membentak. “Bukan begitu, ayahanda,” kata Raden Sahid. “Sampai saat ini hamba masih dalam taraf menimbang-nimbang, gadis mana yang cocok untuk menjadi menantu ayahanda.”
“Baiklah kalau begitu,” kata Tumenggung Wilatikta. “Pertimbangkanlah masak-masak. Dan hati-hatilah kau memilih calon jodohmu.”
Sesudah itu Raden Sahid lalu diperkenankan mundur dari hadapan Sang Tumenggung. Selanjutnya, kepada anak perempuannya, yaitu Rasa Wulan, Tumenggung Wilatikta juga menyuruh agar segera mempersiapkan diri untuk menerima lamaran orang lain. Rasa Wulan tanpa membantah menyanggupi suruhan ayahnya, lalu minta diri mundur dari hadapan ayahandanya.
Malam harinya, Raden Sahid senantiasa gelisah. Sampai larut malam dia tak dapat tidur. Sedih hatinya, mengingat suruhan ayahnya untuk segera beristeri, padahal sama sekali belum punya niat untuk itu.
“Aku harus pergi dari sini, untuk menghindari paksaan ayah.” Begitu pikir Raden Sahid. Dengan tekad demikian, maka pada waktu larut malam, ketika seisi ketumenggungan sedang lelap beristirahat (tidur), diam-diam Raden Sahid keluar dari dalam kamarnya, lalu pergi.
Pagi harinya, Rasa Wulan mengetahui bahwa Raden Sahid tidak ada di kamarnya. Dia khawatir, jangan-jangan kakaknya itu minggat. Dengan harap-harap cemas Rasa Wulan mencari kakaknya kemana-mana. Setelah tidak berhasil menemukannya meski sudah mencarinya ke berbagai tempat, maka yakinlah Rasa Wulan, bahwa kakaknya telah meninggalkan rumah. Dia mengetahui alasannya mengapa sang kakak pergi, tidak lain ialah agar terhindar dari paksaan ayahnya untuk beristeri.
“Mengapa dia tidak mengajak aku,” kata Rasa Wulan dalam hati. “Aku juga bermaksud pergi dari sini, supaya terhindar dari paksaan ayah untuk segera bersuami.” Kemudian Rasa Wulan masuk ke kamarnya untuk menyiapkan pakaian. Setelah itu ia pun pergi menyusul kakaknya.
Malam harinya barulah orang-orang seisi rumah ketumenggungan mengetahui, bahwa Raden Sahid dan Rasa Wulan pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mendengar laporan bahwa kedua orang anaknya pergi, terkejutlah Tumenggung Wilatikta. Cepat-cepat ia menyebar bawahannya ke berbagai tempat, namun tidak berhasil menemukan Raden Sahid dan Rasa Wulan. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun dilakukan pelacakan, tetapi usaha untuk menemukan kedua orang anak Tumenggung Wilatikta itu tidak menemukan hasil.
Bertahun-tahun Raden Sahid mengembara, mengalami pahit dan getirnya penderitaan, serta menghadapi berbagai macam cobaan, sehingga di kemudian hari ia dikenal sebagai seorang wali yang sangat mashur, bernama Kanjeng Sunan Kalijaga.
Adapun Rasa Wulan, di dalam pengembaraannya mencari Raden Sahid, setelah bertahun-tahun tidak berhasil menemukan kakaknya itu, akhirnya dia bertapa di tengah hutan Glagahwangi. Di hutan itu Rasa Wulan bertapa ngidang1.
Di dalam hutan itu ada sebuah danau bernama Sendhang Beji. Tepat di tepi danau itu tumbuhlah sebatang pohon yang besar dan rindang. Batang pohon itu condong dan menaungi permukaan danau. Pada salah satu cabang yang menjorok ke atas permukaan air danau Sendhang Beji itu, ada orang yang sedang bertapa. Orang itu bernama Syekh Maulana Mahgribi. Pada cabang pohon besar itu, Syekh Maulana Mahgribi bertapa ngalong2.
Pada suatu siang yang cerah, datanglah Rasa Wulan ke Sendhang Beji itu untuk mandi, karena matahari memancarkan sinarnya yang sangat terik. Perlahan-lahan Rasa Wulan menghampiri Sendhang Beji yang airnya jernih dan segar. Sama sekali ia tidak tahu bahwa di atas permukaan air sendhang itu ada seorang laki-laki yang sedang bertapa. Karena mengira tak ada orang lain kecuali dia sendiri di tempat itu, maka dengan tenang dan tanpa malu-malu Rasa Wulan membuka seluruh pakaian penutup tubuhnya. Dalam keadaan telanjang bulat, dengan perlahan-lahan Rasa Wulan berjalan menghampiri danau. Dengan tenangnya dia mandi di Sendhang Beji itu. Kesejukan air danau itu membuat kesegaran yang terasa sangat nyaman pada tubuhnya.
Sementara itu, Syekh Maulana Mahgribi yang sedang bertapa tepat di atas air danau tempat Rasa Wulan mandi, memandang kemolekan tubuh Rasa Wulan dengan penuh pesona. Melihat kecantikan wajah dan kemontokan tubuh Rasa Wulan yang sedang mandi tepat di bawahnya, bangkitlah birahi Syekh Maulana Mahgribi. Meneteslah air mani Syekh Maulana Mahgribi, jatuh tepat pada tempat Rasa Wulan mandi.
Karena peristiwa itu, maka hamillah Rasa Wulan. Rasa Wulan tahu, bahwa orang laki-laki yang bergantungan pada cabang pohon di atas danau itulah yang menyebabkan kehamilannya.
“Mengapa kau berbuat demikian?” Rasa Wulan memprotes, dengan menunjuk-nunjuk ke arah Syekh Maulana Mahgribi. “Mengapa engkau menghamiliki?”
Menerima dampratan demikian itu, Syekh Maulana Mahgribi diam saja, seakan-akan sama sekali tidak mendengar apa-apa.
“Kamulah yang menghamiliki”, kata Rasa Wulan. “Kamu harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu.”
“Mengapa kau menuduhku”, tanya Syekh Maulana Mahgribi.
“Lihat! Aku hamil”, kata Rasa Wulan. “Dan kamulah yang menghamili.”
“Kamu yakin bahwa aku yang menyebabkan kamu hamil?” tanya Syekh Maulana Mahgribi.
“Ya. Aku yakin”, kata Rasa Wulan. “Aku yakin bahwa kamulah yang menyebabkan aku hamil.”
“Mengapa?” tanya Syekh Maulana Mahgribi. “Mengapa aku yang kau tuduh menghamili kamu?”
“Di tempat ini tidak ada orang laki-laki lain kecuali kamu,” kata Rasa Wulan. “Maka kamulah yang kutuduh menghamiliku.”
Untuk menghindarkan diri dari tuduhan itu, maka Syekh Maulana Mahgribi lalu mencabut kemaluannya. Kemudian ia menyingkapkan sarungnya dan menunjukkan kepada Rasa Wulan bahwa dia tidak punya kemaluan, berkatalah Syekh Maulana Mahgribi, “Lihatlah, aku bukan laki-laki. Mana mungkin aku menghamilimu.”
“Bagaimana pun, aku tetap menuduh bahwa kamulah yang menghamili diriku” kata Rasa Wulan. “Maka kamu harus bertanggung jawab terhadap kehidupan bayi yang kukandung ini.”“Aku harus bertanggung-jawab?” tanya Syekh Maulana Mahgribi.
“Ya. Kamu harus bertanggung-jawab,” kata Rasa Wulan. “Kamulah yang harus mengasuh dan memelihara anak ini kelak setelah lahir.”
Syekh Maulana Mahgribi tidak lagi dapat mengelak. Setelah anak yang dikandung oleh Rasa Wulan itu lahir, lalu diserahkan kepada Syekh Maulana Mahgribi. Kandungan Rasa Wulan, yang setelah lahir diserahkan kepada Maulana Mahgribi, diberi nama Kidangtelangkas. Keturunan Kidangtelangkas itu kelak secara turun-temurun menjadi raja di tanah Jawa.
Namun terjadi suatu keajaiban. Kemaluan Syekh Maulana Mahgribi yang dicabut itu berubah wujud menjadi sebilah mata tombak. Tombak yang terjadi dari kemaluan Syekh Maulana Mahgribi itu, akhirnya menjadi “sipat kandel” (senjata andalan) raja-raja Jawa. Tombak itu dinamakan Kanjeng Kyai Plered.
Secara turun-temurun tombak Kanjeng Kyai Plered itu diwariskan kepada raja-raja yang bertahta. Pada waktu Dhanang Sutawijaya berperang tanding melawan Arya Penangsang, Dhanang Sutawijaya dipersenjatai tombak Kyai Plered, dan dengan senjata andalan itu pula Sutawijaa berhasil membunuh Arya Penangsang. Selanjutnya Dhanang Sutawijaya menjadi Raja Mataram, dan Kanjeng Kyai Plered merupakan senjata pusaka kerajaan Mataram. Saat ini tombak Kanjeng Kyai Plered itu menjadi senjata pusaka di Keraton Yogyakarta.

Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kamis, 23 Februari 2012

MAKAM KEDONO KEDINI

Di atas gunung di bawah langit Indoesia, terdapat sepasang makam keramat tinggalan  masa lalu yang konon oleh para warga masyarakat sekitar dianggap penuh misteri. Makam ini di namakan makam Kedono-Kedini. Petilasan G.R.M SUMADI dan G.R.Ay SUDARMINAH yang konon adalah Putera Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono II (putera ke 53 dan 59) terletakdi Pedukuhan Sedono(Kedondong), Desa Pundungsar, Kecamatan Semin kabupaten Gunungidul Yogyakarta Indonesia ini tidak banyak diketahui oleh orang karena tempatnya diatas gunung sekaligus medan untuk menuju lokasinya masih sangat sulit dan mungkin ini pertama kalinya di terbitkan, karena saya search di Google juga belum ada yang mem-posting.
Berikut liputan perjalanan saya ketika seorang teman menghampiri saya untuk berjalan-jalan mengajak hunting.


CERITA SINGKAT MAKAM KEDONO-KEDINI SEMIN-GUNUNGKIDUL VERSI WARGA SETEMPAT & BUDAYAWAN WANDY INDRA KUSUMA.

Dahulu kala, tersebutlah ada seorang kakak-beradik bernama Kedono & Kedini yang berpisah. Kedini hidup di dalam hutan dan bertahan dengan memakan buah-buahan. Suatu ketika kakak-beradik ini bertemu di tengah hutan dan kemudian, Kedono menyaksikan Kedini dengan perut yang besar dan timbullah perselisihan diantara keduanya, Kedono menuduh Kedini hamil sedangkan Kedini mengaku akibat daripada terlalu banyak memakan buah-buahan. Maka di bedahlah perut Kedini untuk membuktikan dan alhasil bahwa didalam perut Kedini tidak diketemukan apa yang dimaksud oleh Kedono, melainkan hanya buah-buahan, maka dengan perasaan bersalah, Kedono menyusul Kedini dengan cara bunuh diri. Entah cerita ini sejak kapan, tetapi masyarakat setempat meyakini cerita ini dan makam Kedono-Kedini ini sering di gunakan untuk Nyadran. Wallahuallam Bishawab.



Perjalanan berangkat dari rumah berawal dari sekitar jam setengah tiga sore.dalam perjalanan kami berdua mengalami berbagai halangan dan rintangan, diantaranya runtuhnya tanah pegunungan akibat debit air yang tinggi, sehingga banyak warga berkerumun bergotong royong  menyingkirkan sisa-sisa reruntuhan, berikut ini gambarnya.


Jalan naik ke atas gunung yang terjal dan mendaki aspal kasar maupun halus hingga jalan-jalan bebatuan yang telah terlewati ahirnya kami sampai di depan pintu masuk menuju makam Kedono Kedini tersebut.

Dari lokasi pintu masuk ini, kami berdua masih harus menaiki tangga yang tinggi, licin dan penuh di tumbuhi tanaman-tanaman liar.


Sesampainya di depan pintu pagar yang mengelilingi makam, Aku pun mengucapkan uluk salam sebisaku, "Assalamualaikum Yaa Ahli Qubuur"... kemudian teman saya yang bernama Angga Prayudha Sakti membuka pintu kecil yang terbuat dari besi tersebut dan mulai mengambil obyek-obyek di sekitar luar pagar. Sayapun juga belum tahu, adakah juru kunci disini, ya mungkin ada tetapi kami tidak menemui seorangpun di sekitar tempat ini untuk kami bertanya dan mencari informasi-informasi lainnya.

Mulai dari sini suasana misteri sangat terasa sekali. Dingin, lembab, redup dan seolah ada yang mengawasi gerak-gerik kami berdua. Meski mata dan kepala kami tidak melihat tetapi kami yakin, ada yang sedang mengawasi kami.
 

Setelah memasuki pintu kecil yang terbuat dari besi itupun aku mulai melepas alas kakiku kemudian di ikuti temanku. Langsung kami menuju ke sebelah kanan yang berupa bangunan berundak dengan sebuah foto menggantung diatasnya dan makam di depan bangunan tersebut. Sayapun juga tidak tahu, gambar siapakah gerangan yang berada di atas bangunan tersebut.

Setelah duduk beberapa menit, kameraku mulai menarik perhatian pada sebuah prasasti dengan lambang Praja Cihna alias lambang kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. dengan makam Kedono-kedini di belakangnya. Dan dalam prasasti tersebut terukir dua nama yaitu: GRM. Sumadi & GRAy. Sudarminah.

Kami berdua mencoba duduk di sana sambil memandang area sekeliling. Sepi, sunyi tiada manusia satu pun hanya suara-suara nyamuk yang terbang dan sesekali suara kicauan burung dari arah kejauhan. Tapi seolah ada yang mengawasi gerak-gerik kami berdua.

Sampai disini acara memotret pun kami hentikan, karena menurut cerita teman saya, dahulu bapaknya Angga Prayudha Sakti ini memotret makam disini maka, kameranya pun rusak. Untuk kedua kalinya, bapak teman saya ini mencoba mengulang untuk mengambil gambar  pada makam tersebut dan lagi-lagi mengalami kerusakan pada kamera Pocket Digital-nya. Jadi ada 2 kamera yang rusak setelah untuk memotret makam tersebut dan gambarnya pun tidak dapat terlihat sama sekali. Bukan soal tidak percaya, tetapi sayapun merasa sayang pada kamera saya jika hal tersebut juga menimpa saya seperti yang terjadi pada bapak teman saya tersebut. Percaya atau tidak, silahkan. Wallahuallam Bishawab.

PROSESI RITUAL NYADRAN GEDONG PULOSARI
Gunungkidul yang mempunyai kekayaan Adat Budaya selalu diperingati oleh masyarakatnya sebagai perwujudan mengingat jasa, ucapan syukur bahkan pelestarian adat budaya setempat agar tak hilang hingga masa kemasa.
Ritual Gedong Pulosari merupakan salah satu bentuk pelestarian peninggalan sejarah berupa Gedong Pulosari adalah Petilasan G.R.M SUMADI dan G.R.Ay SUDARMINAH yang konon adalah Putera Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono II (putera ke 53 dan 59) yang terletak di Pedukuhan Sedono(Kedondong), Desa Pundungsar, Kecamatan Semin kabupaten Gunungidul Yogyakarta Indonesia. Tradisi tersebut telah selalu diperingati setiap tahunnya yaitu di bulan Dzulhijah (jawa: Besar) di Dusun Sedono, Desa Pundungsari, Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta yang akan diramaikan juga dengan beberapa seni adat tradisional yang ada di masyarakat tersebut.



Makam ini adalah aset berharga Indonesia, yang patut untuk dijaga dan di lestarikan. Sekali lagi saya  acungkan kedua jempolku untuk Yogyakarta tercinta yang ternyata memiliki budaya dan peninggalan yang masih tersembunyi. (Koh Lee Van Djocdja)

Jumat, 30 Desember 2011

ILMU KANG NYOTO

BAB I

Ilmu iku angele yen durung ketemu , kamongko ketemune ilmu iku mowo laku, lakune ilmu iku manut ilmu opo kang disinau. Manungso perlu ngudi marang ilmu, sebab manungso kang ora darbe ilmu rugi uripe lan asor drajate. Gusti Allah bakal paring ilham marang manungso kanthi ilmu sing temen-temen disinau. Laku kang utomo yoiku kang biso njogo tutuk (lesan), kang tansah biso gawe seneng(resep), lan tentreme atining liyan lan ora seneng gawe ontran-ontran lan kerusakan. Kudu ngungkurake sifat sombong lan ojo demen marang pangalembono, tamak lan riya.

Saben manungso mesthi darbe akal, pikiran lan perasaan kang kasebut cipto, roso lan karso. Cipto lan roso dumunung ono ing alam bebuden ono ing ati, karso dumunung ono ing alam gerak (solah bowo) kang dumunung ing ponco indriyo. Kalamun manungso tansah dhemen ngolah marang cipto lan roso ngereh ing karso, mulo manungso bakal dadi manungso waspodho lan wicaksono. Nadyan manungso kang wus akeh umure nanging yen ora dhemen mriksani roso ing kono manungso kaaran lir sepah asamun pindho ampas mbrabas, kalamun tebu ilang roso legine kari sepahe ora ono gunane. Malah-malah wus tuwo pikun, kolo mangsane ono ing pasamuwan sok gonyak ganyuk gunemane mung tansah anglenglingsemi. Amergo sopo ?.....

Amergo amung anut karsaning priyonggo, yen ngomong datan kapikir ing sebab lan akibat ing tembe mburine. Karmane amung tansah ginunggung kepingin ugungan sakdino-dino anggunge andedhukur ngelantur pindho kukilo kang kaimbo-imbo, ora gelem yen kaaran balilu rumongso pinter, rumongso ngerti, yen ngomong mung asal ombo gumaleger ngebaki papan koyo tenan-tenano. Kaumpamak-ke pindho guo katiyupan samirono suwarane medeni utowo mirisake atine sing krungu. Datan gelem ngalah, datan gelem kabantah ora genah, mung kakehan cacah nglantur tanpo wewatesan lan wewatonan. Seneng ngomong sing ora-ora lan aneh-aneh, kolo mangsane ora biso di tompo akal lan nalar. Gayane koyo profesor sing pinter kang wus mumpuni marang ing kawruh, awatak sombong seneng ngobral kondho kang ngoyoworo mung dhemen pangalembono.

Kahanan kang koyo mangkono iku biso kaarani urip kang muspro lan rusak , daran mangerti marang tumindak koyo bocah cilik mung seneng aleman nanging yen ono boyo pekewuh embuh ora weruh, atine susah gelisah ngendel-ngendelake wong tuwane, dumeh wong tuwane duwe pangkat, drajat, kekuasaan lan kedudukan kamongko awake dewe kosong mlompong ora darbe opo-opo. Sifat manungso kang koyo mangkono iku manungso kang mamang, katitik soko pangomongane ora gelem ngalah kudu menang lan numpang yen berdebat nganggo debat kusir yen ngomong mung waton ngomong ananging ora tau omong ngganggio wewaton. Seneng ngeremehke liyan, ngendel-ngendelke jimat kemat awatak hadigang, hadigung lan hadiguno.

Hadigang: Watake gajak, ngendel-ngendelake karosanane,
Hadigung: Watake wong sugih, ngendel-ngendelke sugihe utowo bandane,
Hadiguno: watake ulo kang mandi wisane, ngendel-ngendelake wisane.

Kamongko kang diarani jimat iku mung kaumpomoake wedak pupur sing nempel ono ing rai yen kausap bakal ilang datan langgeng utowo abadi.

Kepiye to sejatine sifat manungso kang waspodho lan wicaksono?...Wong kang waspodho lan wicaksono iku manungso kang tansah nggegilut marang ing kawruh kautaman lan anggenggulang ing saliring ilmu kang nyoto kanggo doyo tumekaning delahan. Mulo kang waspodho lan wicaksono iku lire datan keweran obah ing rening kahanan, anane agawe reseping priyonggo lan wong liyo. Sebab tansah mersudi marang kautaman jati, tumuju marang karahayon amung kepingin memayu hayuning bawono, sainggo biso agamuh mring Ywang Suksmo Kawekas, ing mangkono bakal biso momor pamoring sawujud

Manungso waspodho lan wicaksono ndarbeni sifat sabar, iklas lan narimo. Sabar nadyan kaolo-olo lumuh (gelem) kaarani balilu katompo kanthi iklas lan legowo datan mbantah, datan wegah, malah reko-reko bodho (balilu) ngaku yen isih cubluk ing kawruh. Ora gelem mbantah dongengan-dongengan lan omongan-omongan sing aneh-aneh sing ora biso katompo marang akal lan nalar. Gunane sing bodho supoyo ora lingsem lan ora ketoro bodhone. Sifat manungso kang mangkono tansah seneng, tentrem lan ayem nduwe ulat sumeh sugih pangapuro marang sakpodho-podho, welasan, dhemen srawung marang sakpadhane urip sopo wae, ora mbedak-mbedakke, suku, bongso, golongan, pangkat, drajat, sugih lan mlarat. Keno diparibasaake, biso ajur-ajer, mancolo putro mancolo putri, momod, momong, lan momor.

Kanggo ningkatake urip kang mulyo kudu darbe ati sing suci lan ati kang berbudi bowo laksono utowo ati segoro. Ati kang suci iku bakal tumus marang pambudi kang bener lan pener, bakal antuk kanugrahan soko Ywang Agung. Carane supoyo antuk ati kang suci dhemeno merguru marang kang bener-bener wus pono (ngerti) ing kawruh, ngerti marang ing hukum, tuhu marang ing agomo, sugih ing ngawiryo, jumbuh lahir lan batine, syukur antuk guru kang isih turunane ratu utowo pandhito kang dhemen tarakbroto, ojo siro dhemen merguru marang guru kang seneng ngolah marang ilmu joyo kawijayan, kasantikan lan kanuragan awit bakal biso nyengsaraake donyo tumekaning aherat. Utowo syukur yen antuk guru kang biso nuduhake asal mulo niro pribadhi sakora-orane ngerti kamulyaning urip lan katentreman.

Nyinau marang ilmu kang koyo mangkene pancen akeh godho lan rubedo yen ora tabah malah biso dadi sengsoro lan rekoso. Opo maneh ilmu kang ngarah gaib, kang angarah ilmu kang ora kasat moto kudu wani tirakat lan khilawat. Megeng napas, ngatur napas, ngadohi sesirik manut-miturut opo aturane ngendaleni utowo ngekang howo lan napsu, kalamun biso mangkono kaaran wong tuwo kang tuwuh. Nadyan durung tuwo manungsane nanging wus tuwo panggraitane utowo pamikirane. Sebab dumununging ilmu iku sejatine ora mandang akehe umure, ora mandang marang drajat lan pangkat utowo titel-e opo maneh bondho donyo. Nanging dumunung ono wong kang antuk kanugrahan, lan manungso kang dhemen olah topo broto kang tansah ngendaleni marang napsu aluamah, amarah lan supiyah lan ugo kang mangerteni sing nitahake lan sing di titahake, sing nguwasani lan sing dikuwasani, sing murbo wiseso lan sing kapurbo. Manungso kang koyo mangkono iku wus kapacak ing pangandikane poro winasis, kang unine mangkene:
"Tan samar pamoring suksmo sinumoyo wahyuning asepi, sinimpen telenging kalbu, pambukaning warono tarlen saking liyep alayaping aluyup pindho pesating sumpeno, sumusuping roso jati" .

Dadi datan was-was marang ciri (citraning) manungso kang katitahake ing ndonyo kang mowo suksmo peparinging Ywang Manon. Sebab wus karasukake jroning ati (kalbu) lan dihayati kanthi nyoto, karo nindakake semedhi ing wektu kang soyo sunyi. Mulo cirining (citraning) suksmo kawistiro wektu semedhi ing antraning. Sadar (eling) lan setengah sadar koyo-koyo wektu ngimpi nanging eling kabeh kang mangkono lumebu ing jroning roso ati. yen siro biso nindakake kanthi tumemen bakal antuk kanugrahaning pangeran, bakal bali marang alam kalanggengan bali marang asal niro pribadhi, ing kono bakal ketemu cahyo kang sumunar, dudu cahyaning jagat gumelar. Ananging siro kudu wani ngedohi marang kadonyan, awit kahanan ing ndonyo iku tansah gawe miris, tansah gawe mungsuh-mungsuhan, agawe resah, bingung, tangis, guyu, bungah lan susah. Opo maneh marang babagan bondho donyo kang saben dino tansah diupoyo nanging yen datan biso ngatur malah dadi mungsuh kalamun biso ngatur dadi mulyo lan raharjo ing donyo kasembadan opo kang kagayuh jinongko opo kang kasedoyo.

Akeh manungso kang kayungyun marang bondho datan idep marang tumindak nistho. Kadangkolo amargo bondho dadi kleru, nrajang angger-angger, mulo manungso kang koyo mangkono iku dadi peteng paningalane, peteng nitraning batin pindho sato kewan, uripe ing tembe bakal maharayongyong, nglambrang suksmane pindho kinjeng mabur kang tanpo soco, lir mego katiyup ing samirono kabuncang mrono , kabuncang mrene datan ono mandeg-e, sainggo kasikso amargo mung anut lakuning roso rumingso rikolo ing ndonyo. Mulo siro ojo mung podho rebutan daging bosok saumpamane kang bakal dadi racuning pribadhi. Kelingono pituture wong tuwo:
"Ojo dhemen siro ngepenakake rogo, urip kang adus bondho donyo ajibar-ajibur amburuwah lamun siro kabanjut ing tembe, badaniro mung bosok dadi lemah, sakolo suksma niro dadi sengsoro lir kinjeng mabur kang tanpo soco, ananging yen siro nindakake laku kang utomo embuh dadine ing tembe mburi".
Mulo siro nulad-o marang poro ulomo kang luhur bebuden-e kang tansah manekung ing Ywang Widhi, amung anut roso kang sawiji, kepingin anuju marang pangastuti. Pancen kanggo nggayuh urip kasunyatan iku manungso kudu mbudi doyo, nyambut gawe manut bakat lan kemampuane lan ndedongo kanthi ati kang madhep lan mantep. Salahe dewe kalamun manungso ora gelem ngutamakake marang pokok-pokoking urip ing alam ndonyo kamongko syarate kasunyatan iku ono patang perkoro, yoiku:
1. Brayat
Brayat wredine keturunan, manungso tanpo brayat (keturunan) bakal sengsoro tinemu ing tuwo, ananging yen duwe brayat datan kawulang wuruk bakal nemahi neroko.

2. Semat
Semat wredine bondho donyo, manungso tanpo bondho donyo dadi wong kang miskin, tansah kesurang-surang uripe mokal yen biso heneng lan hening anggone maneges marang Gusti Kang Moho Kuwoso.

3.. Derajat/Pangkat
Derajat/Pangkat wredine kalungguhan, kalamun manungso datan antuk kalungguhan, manungso ora nduweni wibowo lan ora pinercoyo ing liyan. Nanging yen kalungguhan iku kanggo tameng marang pribadhi biso ugo malah dadi nistho.

4. Keramat
Keramat wredine kanugrahan, manungso kang antuk kanugrahan yen biso anggon niro mapanake bakal dadi mulyaning asmo lan roso.

Mulo patang perkoro iki ojo kongsi anggoniro ngupadi, yen siro datan antuk siji-sijio, urip siro bakal muspro tanpo rego pindho godong jati aking, ing tembene mung tansah ngrentah tanpo genah.
(Pangripto: Koh Lee)

Selasa, 16 Maret 2010

SERAT WEDHATAMA

Karya : Mangkunegara IV

PUPUH I

P A N G K U R

01

Mingkar-mingkuring ukara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung,kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.

02

Jinejer ing Weddhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun,samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi.

03

Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling,lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun samudana, sesadoning adu manis .

04

Si pengung nora nglegewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar-andhar angendukur, kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang sipingging.

05

Mangkono ilmu kang nyata, sanyatane mung we reseping ati,bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip.

06

Uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung, sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.

07

Kikisane mung sapala, palayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci.

08

Socaning jiwangganira, jer katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sesongaran,yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.

09

Kekerane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya,
ubayane mbalenjani.

10

Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira, Ana uga angger ugering kaprabun, abon aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.

11

Iku kaki takokena, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanjataning ngelmu, tan mesthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.

12

Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga, Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning ngatunggil.

13

Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning waana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.

14

Sajatine kang mangkono, wus kakenan nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung, tan karem karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.

PUPUH II

S I N O M

01

Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.

02

Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.

03

Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika.

04

Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.

05

Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan, ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.

06

Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe pada wibawa.

07

Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.

08

Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mapir masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.

09

Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.

10

Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.

11

Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa mulang putra.

12

Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya tininggalan.

13

Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben hari, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista.

14

Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan lyan among ngupa boga.

15

Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara, wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.

16

Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.

17

Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag agama.

18

Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge mring makrifat.

PUPUH III

P U C U N G

01

Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkese dur angkara.

02

Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gogolonganira triloka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda.

03

Beda lamun, kang wus sengsem reh ngasamun, semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi marto tama.

04

Taman limut, durgameng tyas kang weh limput, kereming karamat, karana karohaning sih, sihing Sukma ngreda sahardi gengira.

05

Yeku patut, tinulad-tulad tinurut, sapituduhira, aja kaya jaman mangkin, keh pramudha mundhi dhiri lapel makna.

06

Durung pecus,kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.

07

Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku, akale alangka, elok Jawane denmohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah.

08

Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh, lumeketing angga, anggere padha marsudi, kana-kene kaanane nora beda.

09

Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen kabul kabuka, ing drajat kajating urip, kaya kang wus winahyeng sekar srinata.

10

Basa ngelmu, mupakate lan panemu, pasahe lan tapa, yen satriya tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut triprakara.

11

Lila lamun, kelangan nora gegetun, trima yen kataman, sakserik sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing Batara.

12

Batara gung, inguger graning jajantung, jenak Hayang Wisesa, sana paseneten Suci, nora kaya si mudha mudhar angkara.

13

Nora uwus, kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring, kaya buta-buteng betah nganiaya.

14

Sakeh luput, ing angga tansah linimput, linimpet ing sabda, narka tan ana udani, lumuh ala ardane ginawe gada.

15

Durung punjul, ing kawruh kaselak jujul, kaseselan hawa, cupet kapepetan pamrih, tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.

PUPUH IV

G A M B U H

01

Samengko ingsun tutur, sembah catur: supaya lumuntur, dihin: raga, cipta, jiwa, rasa, kaki, ing kono lamun tinemu, tandha nugrahaning Manon.

02

Sembah raga puniku, pakartine wong amagang laku, susucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu, wantu wataking wawaton.

03

Inguni-uni durung, sinarawung wulang kang sinerung, lagi iki bangsa kas ngetok-ken anggit, mintoken kawignyanipun, sarengate elok-elok.

04

Thithik kaya santri Dul, gajeg kaya santri brahi kidul, saurute Pacitan pinggir pasisir, ewon wong kang padha nggugu, anggere guru nyalemong.

05

Kasusu arsa weruh, cahyaning Hyang kinira yen karuh, ngarep-arep urup arsa den kurebi, Tan wruh kang mangkoko iku, akale keliru enggon.

06

Yen ta jaman rumuhun, tata titi tumrah tumaruntun, bangsa srengat tan winor lan laku batin, dadi ora gawe bingung, kang padha nembah Hyang Manon.

07

Lire sarengat iku, kena uga ingaranan laku, dihin ajeg kapindhone ataberi, pakolehe putraningsun, nyenyeger badan mwih kaot.

08

Wong seger badanipun, otot daging kulit balung sungsum, tumrah ing rah memarah antenging ati, antenging ati nunungku, angruwat ruweting batos.

09

Mangkono mungguh ingsun, ananging ta sarehne asnafun, beda-beda panduk panduming dumadi, sayektine nora jumbuh, tekad kang padha linakon.

10

Nanging ta paksa tutur, rehning tuwa tuwase mung catur, bok lumuntur lantaraning reh utami, sing sapa temen tinemu, nugraha geming Kaprabon.

11

Samengko sembah kalbu, yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan Narapati, patitis tetesing kawruh, meruhi marang kang momong.

12

Sucine tanpa banyu, mung nyenyuda mring hardaning kalbu, pambukane tata, titi, ngati-ati, atetetp talaten atul, tuladhan marang waspaos.

13

Mring jatining pandulu, panduk ing ndon dedalan satuhu, lamun lugu leguting reh maligi, lageane tumalawung, wenganing alam kinaot.

14

Yen wus kambah kadyeku, sarat sareh saniskareng laku, kalakone saka eneng, ening, eling, Ilanging rasa tumlawung, kono adile Hyang Manon.

15

Gagare ngunggar kayun, tan kayungyun mring ayuning kayun, bangsa anggit yen ginigit nora dadi, Marma den awas den emut, mring pamurunging lelakon.

16

Samengko kang tinutur, sembah katri kang sayekti katur, mring Hyang Sukma sukmanen sehari-hari, arahen dipun kecakup, sembah ing Jiwa sutengong.

17

Sayekti luwih prelu, ingaranan pepuntoning laku, kalakuan kang tumrap bangsaning batin, sucine lan Awas Emut, mring alame alam amot.

18

Ruktine ngangkah ngukut, ngiket ngrukut triloka kakukut, jagad agung gimulung lan jagad cilik, Den kandel kumandel kulup, mring kelaping alam kono.

19

Keleme mawa limut, kalamatan jroning alam kanyut, sanyatane iku kanyatan kaki, Sajatine yen tan emut, sayekti tan bisa awor.

20

Pamete saka luyut, sarwa sareh saliring panganyut, lamun yitna kayitnan kang mitayani, tarlen mung pribadinipun, kang katon tinonton kono.

21

Nging aywa salah surup, kono ana sajatining Urub, yeku urup pangarep uriping Budi, sumirat sirat narawung, kadya kartika katongton.

22

Yeku wenganing kalbu, kabukane kang wengku winengku, wewengkone wis kawengku neng sireki, nging sira uga kawengku, mring kang pindha kartika byor.

23

Samengko ingsun tutur, gantya sembah ingkang kaping catur, sembah Rasa karasa rosing dumadi, dadine wis tanpa tuduh, mung kalawan kasing Batos.

24

Kalamun durung lugu, aja pisan wani ngaku-aku, antuk siku kang mangkono iku kaki, kena uga wenang muluk, kalamun wus pada melok.

25

Meloke ujar iku, yen wus ilang sumelang ing kalbu, amung kandel kumandel ngandel mring takdir, iku den awas den emut, den memet yen arsa momot.

26

Pamoring ujar iku, kudu santosa ing budi teguh, sarta sabar tawekal legaweng ati, trima lila ambeh sadu, weruh wekasing dumados.

27

Sabarang tindak-tanduk, tumindake lan sakadaripun, den ngaksama kasisipaning sesami, sumimpanga ing laku dur, hardaning budi kang ngrodon.

28

Dadya wruh iya dudu, yeku minangka pandaming kalbu, inkang buka ing kijab bullah agaib, sesengkeran kang sinerung, dumunung telenging batos.

29

Rasaning urip iku krana momor pamoring sawujud, wujuddullah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, endi arane ing kono.

30

Endi manis endi madu, yen wis bisa nuksmeng pasang semu, pasamaoning hebing kang Maha Suci, kasikep ing tyas kacakup, kasat mata lair batos.

31

Ing batin tan keliru, kedhap kilap liniling ing kalbu, kang minangka colok celaking Hyang Widi, widadaning budi sadu, pandak panduking liru nggon.

32

Nggonira mrih tulus, kalaksitaning reh kang rinuruh, ngayanira mrih wikal, warananing gaib, paranta lamun tan weruh, sasmita jatining endhog.

33

Putih lan kuningpun, lamun arsa titah teka mangsul, dene nora mantra-mantra yen ing lair, bisa aliru wujud, kadadeyane ing kono.

34

Istingarah tan metu, lawan istingarah tan lumebu, dene ing njro wekasane dadi njawi, raksana kang tuwajuh, aja kongsi kabasturon.

35

Karana yen kebanjur, kajantaka tumekeng saumur, tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi, dadi wong ina tan wruh, dhewekw den anggep dhayoh.

PUPUH V

K I N A N T H I

01

Mangka kantining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, wedi weryaning dumadi, supadi niring sangsaya, yeku pangreksaning urip.

02

Marma den taberi kulup, angulah lantiping ati, rina wengi den anedya, pandak-panduking pambudi, bengkas kahardaning driya, supadya dadya utami.

03

Pangasahe sepi samun, aywa esah ing salami, samangsa wis kawistara, lalandhepe mingis-mingis, pasah wukir reksa muka, kekes srabedaning budi.

04

Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wengi, kang mukitan ing sakarsa, gumelar ngalam sakalir.

05

Aywa sembrana ing kalbu, wawasen wuwus sireki, ing kono yekti karasa, dudu ucape pribadi, marma den sembadeng sedya, wewesen praptaning uwis.

06

Sirnakna semanging kalbu, den waspada ing pangeksi, yeku dalaning kasidan, sinuda saka satitik, pamotahing nafsu hawa, jinalantih mamrih titih.

07

Aywa mamatuh malutuh, tanpa tuwas tanpa kasil, kasalibuk ing srabeda, marma dipun ngati-ati, urip keh rencananira, sambekala den kaliling.

08

Upamane wong lumaku, marga gawat den liwati, lamun kurang ing pangarah, sayekti karendet ing ri, apese kasandhung padhas, babak bundhas anemahi.

09

Lumrah bae yen kadyeku, atetamba yen wis bucik, duwea kawruh sabodag, yen ta nartani ing kapti, dadi kawruhe kinarya, ngupaya kasil lan melik.

10

Meloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali, wola-wali nora nyata, anggepe pandhita luwih, kaluwihane tan ana, kabeh tandha-tandha sepi.

11

Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib baib, kasliring titik tan kena, mancereng alise gatik, apa pandhita antige, kang mangkono iku kaki.

12

Mangka ta kang aran laku, lakune ngelmu sajati, tan dahwen pati openan, tan panasten nora jail, tan njurungi ing kaardan, amung eneng mamrih ening.

13

Kunanging budi luhung, bangkit ajur ajer kaki, yen mangkono bakal cikal, thukul wijining utami, nadyan bener kawruhira, yen ana kang nyulayani.

14

Tur kang nyulayani iku, wus wruh yen kawruhe nempil, nanging laire angalah, katingala angemori, mung ngenaki tyasing liyan, aywa esak aywa serik.

15

Yeku ilapating wahyu, yen yuwana ing salami, marga wimbuh ing nugraha, saking heb kang Maha Suci, cinancang pucuking cipta, nora ucul-ucul kaki.

16

Mangkono ingkang tinamtu, tampa nugrahaning Widhi, marma ta kulup den bisa, mbusuki ujaring janmi, pakoleh lair batinnya, iyeku budi premati.

17

Pantes tinulad tinurut, laladane mrih utami, utama kembanging mulya, kamulyaning jiwa dhiri, ora yen ta ngeplekana, lir leluhur nguni-uni.

18

Ananging ta kudu-kudu, sakadarira pribadi, aywa tinggal tutuladan, lamun tan mangkono kaki, yekti tuna ing tumitah, poma kaestokna kaki.

Rabu, 10 Maret 2010

SASMITANING GHAIB

Sampun kawiyak warananing jagad
Datan maleh hawujud pralampita sakawit
Datan saget kadunungaken ing budi pra kawulo
Sabab handulu kahanan kamot ing sanepan
Pramila kawedar soho kagunggung sampun
Sadya kahanan dumadi kawiwitan padjajaran bumi
Kasaput bramantyaning Sang hyang hanantobogo
Mesu brata sampun badar ing pasepening pratapan

Kadulu ing katebihan tindaknyo sang noto hanitih estitama
Katemah taksih karsa sesinglon rupa hambawur kawulo
Bumi loka taksih kebak ing waspa
Tanah djawi kalimput ing prahara
Lamun sadya piwulang luhur pra wasis datan kapidangetaken
Ajaran suci pra wiku lan ulama datan kaprungu sampun
Ujaring si gaplok sabdane pra wiku lan ulama
Datan maleh kuwawa hambasuh budi candolo

Ambeg angkoro datan saget kagondoli
Duh, jagat kuwasaning Gusti
Pra dasih kadya selo brakiti hamawur tetangisan
Katyoso saget kaprungu ing monco
Lumarap ing waspa hanyaput sadya tentreming manah pra dasih
Ing wetan brang pernahe
Lumarap tapel wates gelang lan kuriphan
Bumi blumbangan bakale katrajang ing mayangkara

Nusa kembini bakalan hanglangut ing sepi
Rinakut dening agni soko yomani
Pra taruna gyo rangkut tumandang
Gugur gunung gyo sabiyantu
Lamun welas adedasar asih tanpa pamrih
Tumuju ing prasetyoning karahayoning bawono
Pralampita kasebat sampun, tutuping warso gyo kinanti
Gunggunging layon datan kapetung

Wusana kinaryo tumbal gyo Hyang Batara Kala
Sinengker sampun lakuning jagad kadulu
Datan sadengah titah gyo purna mratelakaken kang dumugi
Lamun datan titah pujangkara kasihing Gusti
Mesti bakal katalumpen soho kasiku
hamedar sasmitaning alam sunyaluri
kasebat sastra jendra hayuningrat
Lamun taksih karsa ing pepemut

Lamun taksih eling ing pepeling
Lamun taksih setyotuhu mring piwulanging werda suci
Lamun taksih kadunungan cahyaning Gusti
Mrih rahayu ing tindak dumugi
Tansah emut sasmitaning kang simandi
Tutup babagan hawa sanga mesu budi olah semedi
Tansah manuwun pangayoman saking Gusti
Tansah waspada mring lakuning tirta ubaling agni angkara

Laju kiprahipun bayu bakale
Gyo hamikut bebanten dumugi
Wadya bala bregasakan gyo kembul bujana handra wina
Handulu waspa soho panandaning pra kawulo
Wong tua kang kecalan atmojo
Kanoman podo liwung kapengat dening asmara
Rerantaning bocah kang katilar wong tuwo dadi kunarpo
Eling den eling…….

Gelar sepapan barisaning pra lampor hambrakut kidul pernahe
Padjajaran bumi pinangko pambukaning pepemut
Tutuping warso pinangka madyaning lampah nampi pacobi
Lamun taksih kadunungan daya iman sejati bakale adoh ing bilahi
Tapel wates gelang, kuriphan lumeret wetan bumi Blumbangan
Jinangka Nusa Kembini bakale kapiran ing bilahi
Bumi Klungkung manggih rahayu
Kalis ing rubedo, kalis ing bebendu

Wusananing oncating Sang kala,
Katitik ing pucuking Sapta renggo
Sang Nata gyo jumangkah,
Nungkulaken kyai sidem kayom
Pinayungan songgsong tunggul naga,
Kaderekaken sang Ismoyo
Gyo luwar sadya panandhang,
Oncat kapracondang pra wadya begasaan

Gyo sumingkir podo tinggal glanggang
Kasoran pamoring sang nata
Bumi djawi rahayu kinanti ing dumugi
Lamun katumbalan iklhas ing budi
Gyo bali minturut dawuh
Soho piwulang ing werda suci
Sakawit sadya puniko
Hamung kinaryo hangunduh wohing pakarti

Tansah ngunjuk syukur mring Ilahi
Saperlu rahayu awak mami
Sabab tanpo rowang sanak kadang bakale ngrewangi
Manowo taksih nandang pacobi
Hamung Iman soho setyo ing janji
Mring dawuhing guru sejati bakale bisa
Wujudake manunggaling kawula Gusti
Inggih puniko margi ingkang bakale nyentosani

KIDUNG ATI TANGISE BUMI

Bumine nangis, Eluhe lumpur agawe giris
Bumine nesu watuk-watuk ndadekake lindhu
Bumi wis tuwa jare kiyamat wis arep teka
Iki pratandha bendune sing Maha Kuwasa.

Bumine sambat gununge gundhul alase dibabat
Bumi lara ati banjir bandhang anggegirisi
Ujare wong pinter alas sing subur minangka pager
Pagering bumi murih alam tetep lestari.

Aduh Gusti kula nyuwun pangapura
Kula niki sampun kathah dosa
Aduh Gusti Ingkang Maha Kuasa
Nyuwun luwar saking godha pangrencana.

Pra sedulur Tunggal Nusa Tunggal Bangsa
Aja conkrah lan aja sulaya
Bareng urip golek dalan padhang
Sujud sukur wonten ngarsane Pangeran.

Kidung ati pangruwat Bangsa sak Nagari
Mangga ndedonga dahuru inggala sirna
Cancut gumregut bebarengan mbangun Praja
Lestarekna alam murih bumine ora murka.

WIJINING URIP

Wimbaning rasa kang aneng jro ati, wimbaning katongton, pan rumongso anuksma rasane, ing tingal sih rasane kang urip, kumpule dumadi, raos sakahetung.

Mapan aling wijining ngaurip, wijine sawiyah, enur suhut kalawan ngelmune, wadah ira geni lawan angina, ping kalihe malih, siti lawan banyu, iya iku tunggale sawiji sampurnane dadi wong.

Tiningalan iku ing lair ira, iya iku rasa banyu urip, kuwat ira angina, geni karep nepsu iku ingkang amadahi, dadinira awor, iku pada lan lair tamtune.

Rasa cahya manjing marang ngelmi, wiji kang duweni, tan kena cinaturan ingaranan sampurnaning urip, iku dipun cernoh, aja sira karem donya bae, pan weruh wawekasan urip, cahya rasa urip iku dipun weroh .

Sipat iku kang sira tingali marganipun weroh, iyo apan iku ing dadine, yenta weruh sira rupa jati, nggon ira aurip, iku misih bingung .

Iya mengko sira sun tuturi tegese kang raos, aja sira tingal jaba bae, upamanira yen sira guling lamun sira ngimpi , sapa kang andulu raragane pan kira aguling, ing jero miraos wan loro tunggale, nora pisah pan ora atunggil, pilih kang ngawruhi, lir kaca dinulu .

Jroning kaca sira tingali, tanpa dununging nggon, iya uga among sira dhewe kaca iku umpamane jisim, kalimputan urip, sukma kang ndulu, rasa iku kang wujut jati, katingal kang katon, sirno jisim mulih ing asale, mapan asalira duk dumadi, bhumi angina geni, kaping patte banyu.

Jisim alus tan kena ing pati, iyo iku erroh, among rasa nikmat lan larane, tandya wangenan nggon ira aurip.

Lan sakehe kang jro nala tingali sayekti, kalbunira nyatane Hyang Widi, kakelir sayekti, megane pandulu.

Umpamane lir sare lan estri tingal ira raos, sumrah kabeh ing raga nikmate, suka nikmat tan wonten kuwatir, tan ngraos darbeni, sedaya pan kumpul.

Lamun sira yen arsa aguling, tan dyanen sayektos, napas ira pan iku yektine, sarta lamun sira manjing, lampahe aririh, rahmat kang tumurun.

Liyaping netra kang rohmat wus manjing, ing jro manah awor, dadya lali ing kanikmatane, marma datan anget raga iki, tanwruh kula gusti, dudu iyo dudu.

Iya iku al bransanusiri, Mukhammad rasengo, sira kawiti kang sun dadekake, pan wiji sekalir dumadi, saking ing sireki, sira saking ingsun.

Dipun reksa saranaken urip, pasrahna Hyang Manon, dipun nggono rasa sarirane, dipun awae nggonira ngulati, kang trus lawan ngelmi, pituduh ing guru.

Sabdaning gurunen ngati-ati, anuta ing pakon, sarta iklas ing pangidhep kaberah, pati urip datan den rasani, sunya lawan lawan singgih, pan ora kaetung.

Mengko padha sun tuturi malih, brahisih kang katon, kweruhana, ya ing dadine, pan ing raga dununge ing ati, ati ingkang putih, arane pausuh.

Patang prakara dadine kang isih, pan sanes kang enggon, ingkang dhingine jantung nggone, kaping kalihe limpa sadyang ati, tyaspangasih, kaping tiganipun.

Ingkang welas sarta awor asih, iku ning papusuh, tulung tinulung ing kono kuwi, tyas ing sih lakune dhemeni, tresna lan kapengin iku nggonipun.

Ingkang wonten jejantung puniki, kasmaran ingkang wong, iya supe marang liyane, kerut sedyane sih lan rasmi, rasaning sih, sadaya kapengku.

Ingkang kekalih sih dunya kang katon, lana reremen kalawan tunggale, budi piker metu ing jro ati, sabar lileng pati, donya tan kaetung,

Kaweruhana ja sira lali iku kang weruh, ing marmane aling ing paberane, barang cinta pangucap ing osik lawan esir, ya saking Hyang Agung.

Pan tarima lakune kang yekti, iku imaning wong, ingkang padhang nora pethenge, iya padhang tegese pan eling, nora kena lali, iku dhikir Ya Hu.

Erapipun kang dhikir puniki, napas manjing wiwitane panjinge napas, wedalipun napas Hu kang kapuji, ing sajeke urip, melek lawan turu.

Tegese Ya hu Allah kang urip, kang mubeng tumuwoh, sakabeh kang gumelar, urip langgeng ingkang Maha Suci, aniyata dhikir, ing sakjroning kalbu, iya iku sampurna kang urip, dadene papan awor, awor cahya kang padhange linge, pan ciptanen dadine sawiji, iya ruh ilafi, dadine jeng rasul.

Nalikane sira angabekti, rumongsaha kang awor, tuwin sira dhuk dhikir kalane, pan ing kono nggoning kang ning, raganira iki sirnaning pandulu liyaping netra.

Kebut ing ati akbarira awor, petenging tyas tan aling ragane, Wimbuh ira katingal jro ati mring kang Maha Suci, Sih ira Hyang Agung.

Datan mawi lantarane malih, Sih Pangeraning wong, Iya rahmatira iku kabeh, Yakna rahmat Sih tumurun tan elingling diri, tansah manah liwung.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls